Hindari Dua Sikap Ini Karena Bisa Menyebabkan Kerugian Orang Lain

Ilustrasi orang memfitnah. / freepik.com

PURWOKERTO - Fitnah dan Iri hati yang dilakukan oleh seseorang bisa berdampak hancurnya kehidupan orang lain.

Kadang ada benarnya akan istilah Mulutmu, Harimau Mu. Selain itu ada ibarat lidah tidak bertulang.

Jadi tetaplah berhati-hati terhadap dua sikap tersebut.

Pada kesempatan ini, penulis mengakui pernah bersifat dua hal itu dan memang buruk bagi diri sendiri dan menyusahkan teman sendiri (40 tahun yang lalu). 

Semua peristiwa sudah lewat bertahun-tahun lamanya, tapi kali ini penulis ingin menceritakan yang dialami keluarga.

Tentu dalam mengkisahkan ini, penulis ingin mengajak para viewers agar menjauhi dua sikap di atas tadi.

Dan tulisan ini bukan untuk membuka luka lama yang sudah lewat di masa lalu. Lagi pula ayah penulis (difitnah) dan yang memfitnah sudah semuanya almarhum.

Dalam hal ini penulis tetap bangga pada sosok almarhum ayah yang pendiam, dan banyak orang menyebutnya sebagai orang yang "yes man".

Kenapa disebut "yes man", penulis sedikit flash back perjalanan almarhum bapak (BS) sebagai seorang sandiman yang bekerja di Departemen Luar Negeri RI sejak tahun 1958 dan pensiun tahun 1989.

Sebelum penempatan pertama di Canberra, Australia tahun 1963, almarhum pernah ikut terlibat dalam pembebasan Irian Barat pada kira-kira tahun 1961 - 1962.

Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia pada tahun 1963, beliau bersama 7 orang perwira sandiman (sipil) dari Deplu selama operasi Dwi Kora diberi pangkat Letda Tituler.

Setelah kembali bertugas dari pembebasan Irian Barat, beliau tak berapa lama mendapat tugas penempatan pertama di Canberra, Australia pada tahun 1963 pada bulan Agustus sudah harus menuju posnya.

Selama bertugas di Australia, beliau diberi gelar diplomatik Atase / Sandiman. Dan Dubes Indonesia di negara kangguru itu rata-rata berasal dari militer.

Sebagai Atase muda kala itu, beliau termasuk disukai oleh Dubesnya yaitu Mayjen TNI Suadi Suromihardjo (1961-1964) kemudian dilanjutkan oleh Mayjen TNI RA Kosasih.

Namun pada tahun 1966, beliau dipanggil pulang karena tugasnya sudah selesai di pos pertamanya di Canberra.

Kembali ke Unitnya di Deplu (Biro Sandi) kini Pusat Komunikasi.

Pada Mei 1970, beliau mendapat tugas penempatan pos kedua di Dar Es Salaam, Tanzania sebagai Sekretaris III / Sandiman.

Selama di Dar Es Salaam, penulis lahir (1968) jadi pernah merasakan tinggal di negara Afrika Timur.

Awal tugas, beliau tidak mengalami kendala, karena banyak tugas negara untuk mempersiapkan kehadiran Presiden Suharto ke KTT Non Blok ke 3 di Lusaka, Zambia.

Dibawah kepemimpinan Dubes (Alm) Mayjen Pol Otto Abdulrachman, praktis tidak ada masalah yang signifikan dihadapi beliau.

Namun pada 1973, Dubes Otto diganti oleh Laksamana Madya TNI Alm LM Abdul Kadir (eks Wakil KASAL).

Saat dibawah pimpinan Dubes Abdul Kadir, beliau sudah mendapat banyak yang tidak suka, bahkan diadukan ke pusat (Deplu).

Tuduhannya yaitu korupsi dan memiliki sepucuk senjata ilegal. Tuduhan itu sudah masuk ke Biro Kepegawaian Deplu,

Berdasarkan cerita dari Ibu penulis, karena di KBRI Dar Es Salaam tidak ada Atase Pertahanan, almarhum sebagai seorang Sandiman yang merangkap Koordinator Keamanan Perwakilan dan juga Koordinator Konsuler tentu harus dipersenjatai, mengingat rawannya negara akreditasi.

Rawannya negara akreditasi karena kediaman yang berlokasi di Sea View Roads, flat para diplomat asing disatroni maling.

Mengenai ada izin dari Jakarta atau tidak, penulis percaya bahwa itu sudah sepengetahuan dari pusat. 

Tidak mungkin kalau tidak ada izin.

Dan senjata (pistol kecil itu) digunakan untuk mengamankan Dubes dari tindakan kriminal dan kejahatan dari orang yang tidak bertanggung jawab.

Tuduhan korupsi juga tidak terbukti, apa yang mau dikorupsi, karena berdasarkan pengecekan dari utusan Biro Sandi Deplu kala itu, Sdr. Ibnu Sanyoto (terakhir Dubes RI di Polandia) dan pengganti almarhum Sdr. Djatmiko WK, bahwa semua clean (bersih). semua sudah sesuai prosedur, dan pekerjaan sebagai Sandiman cukup baik.

Namun tuduhan yang disampaikan ke Deplu pusat lebih dulu masuk sebelum pulang ke tanah air, dan arahnya penonaktifan almarhum.

Bahkan Dubes LM Abdul Kadir yang ingin membantu dimarahin oleh Biro Kepegawaian Deplu, ada apa orang luar urusan intern instansi ini.

Tdk hanya Dubes LM Abdul Kadir, Dubes RI di Kuala Lumpur Alm Supardjo Rustam juga mencoba ingin mengetahui lebih banyak tentang tuduhan terhadap almarhum pun tidak berhasil membantu.

Akibat tuduhan yang tidak berdasar dari alm. (LT) selaku Kabag TU KBRI Dar Es Salaam, almarhum kehilangan gelar diplomatik dan statusnya sebagai Sandiman (keputusan dari Kepala Lembaga Sandi Negara Bpk Dokki), bahkan dinon aktifkan menjadi pegawai negeri sipil sejak kepulangannya tahun 1975 hingga 1979.

Selama 4 tahun, almarhum tidak digaji dan baru pada tahun 1979, atas bantuan Inspektur Kepegawaian, almarhum kembali aktif di Biro Organisasi bukan lagi di Biro Sandi. 

Kejadian lagi saat di Biro Organisasi, pada tahun 1980, almarhum mendapat tugas belajar di London atas perintah Karo Organisasi Brigjen Prasetyo.

Tugas belajar di Royal Institute Public Administration (RIPA) London dijalani almarhum hingga selesai di bulan Agustus 1980.

Namun lagi nasib sial dialami oleh almarhum, karena sekembalinya dari London, terjadi pergantian Kepala Biro dari Brigjen TNI Pujo Prasetyo kepada Sutri Yusuf.

Baru menjabat Karo Organisasi, Sufri Yusuf langsung menjatuhkan sanksi kepada almarhum atas kelalaiannya dan dinilai meninggalkan tugas sebelum SK turun dari Setneg soal Tugas Belajar ke London.

Itulah sekilas cerita perjalanan almarhum, hingga akhir pensiun, track recordnya masih merah dan tersimpan di Biro Kepegawaian.

Penulis sebagai anaknya sendiri heran, tidak ada pembelaan diri dari almarhum dan tersimpanya dengan kuat tuduhan yang tidak berdasar itu.

Dari cerita ini, bahwa ada dua hal yang menjadi inti dari kisah ini...satu fitnah dan satu lagi iri hati.

Akibat dari dua sikap itu menyebabkan orang kehilangan segala-galanya baik pekerjaan dan karier.

Karena itu, sebisa mungkin hindari dua sikap tadi karena pada dasarnya fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Iri hati juga tidak menguntungkan bagi mereka yang punya sikap ini.(ram)